Seorang lulusan kuliah syari’ah mungkin saja berkutat tiap hari dengan ilmu diin, namun itu tidak menghalangi yang berada di kuliah umum pun bisa menguasainya. Sehingga tidak perlu ada saling hasad dan hasud dalam hal ini. Karena kita diperintahkan berlomba dalam kebaikan, bukan malah saling menjatuhkan. Dukunglah saudaranya jika ia ingin berbuat baik dan ingin mendekatkan diri pada Allah, serta ingin memperbaiki umat. Namun demikianlah, hasad (dengki, iri) akan terus melekat walau di kalangan orang-orang bertakwa dan berilmu.
Hasad Juga Menimpa Orang Beriman
Bukti bahwa hasad bisa saja terjadi di kalangan orang beriman dapat dilihat dari kisah Nabi Yusuf bersama suadara-saudaranya. Sampai-sampai ayah Yusuf (Ya’qub) memerintahkan pada Nabi Yusuf agar jangan menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya agar tidak membuat mereka iri. Allah Ta’ala berfirman,
قَالَ يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Yusuf: 5)
Lalu lihatlah bagaimana perkataan saudara-saudara Yusuf. Dalam ayat disebutkan,
إِذْ قَالُوا لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَى أَبِينَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“(Yaitu) ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.”(QS. Yusuf: 8). Lihatlah bagaimana hasad pun bisa terjadi di antara orang beriman, bahkan di antara sesama saudara kandung.
Merasa tidak suka terhadap nikmat yang ada pada orang lain, sudah disebut hasad oleh Ibnu Taimiyah, walau tidak menginginkan nikmat tersebut hilang. Ibnu Taimiyah berkata
الْحَسَدَ هُوَ الْبُغْضُ وَالْكَرَاهَةُ لِمَا يَرَاهُ مِنْ حُسْنِ حَالِ الْمَحْسُودِ
“Hasad adalah membenci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang ada pada orang yang dihasad.” (Majmu’ Al Fatawa, 10: 111).
Hasad Tercela dan Terpuji
Hasad itu ada dua macam, ada yang tercela dan ada yang terpuji. Rinciannya:
1- Hasad yang tercela, yaitu tidak suka terhadap nikmat yang ada pada orang lain. Ia akan tersiksa dan tersakiti dan berbuah pada penyakit di hatinya. Ia pun semakin senang jika nikmat tersebut itu hilang, walau tidak sampai ia mendapatkan manfaat dengan hilangnya nikmat tersebut. Namun manfaatnya bisa jadi dengan hilangnya rasa sakit di hati. Ada yang mengatakan pula bahwa hasad adalah berangan-angan nikmat yang ada pada orang lain hilang. Siapa yang tidak suka terhadap nikmat yang ada pada orang lain, maka ia dengan hatinya tentu berharap nikmat tersebut hilang.
2- Hasad yang terpuji, yaitu tidak suka keutamaan orang lain sehingga ia pun ingin menjadi semisal dirinya atau bahkan lebih mulia darinya. Hasad semacam ini disebut ghibtoh, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816). (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 10: 111-112).
Sehingga bedakan ketika seseorang ingin mengungguli yang lain dalam kebaikan, itu bukanlah hasad. Ada yang lebih berilmu dan banyak hafalan Al Qur’an darinya, maka ia ingin seperti itu bahkan ingin melebihnya, ini namanya ghibtoh dan termasuk hasad yang terpuji karena akan membuatnya semangat dalam kebaikan.
Yang namanya hasad yang tercela, ketika ada yang membuka majelis ilmu, lalu timbul hasad, “Seandainya pengajian tersebut bubar saja”. Yang hasad ini merasa iri karena lahan dakwahnya takut beralih pada yang lain. Inilah yang sering terjadi di negeri kita sejak masa silam dan akan terus berlangsung, entah sampai kapan. Jadi penyakit hati pun bisa menjangkiti para da’i. Sehingga dari hasad ini timbullah saling hasud. Sama halnya dengan kasus yang kami sebutkan di awal tulisan, ada hasad seperti itu yang terjadi. Ujung-ujungnya pun saling hasud dan saling merendahkan.
Di saat umat butuh dakwah, da’i di atas saling menjatuhkan satu dan lainnya, saling mengkritik yang tidak faedah dan saling men-jarh (istilah ulama hadits). Padahal umat Islam di bawah masih banyak yang berada dalam kegelapan syirik dan bid’ah. Menurut penulis, bisa jadi beda pendapat ada karena beda pendapatan.
Bukan Saling Menjatuhkan
Tidak perlu saling menjatuhkan, namun saling mendukung dalam ilmu dan dakwah, juga saling menasehati dalam kebaikan.
Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ مِرَآةُ أَخِيْهِ، إِذَا رَأَى فِيْهِ عَيْباً أَصْلَحَهُ
“Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya. Jika dia melihat suatu aib pada diri saudaranya, maka dia memperbaikinya.” (Disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Al Adabul Mufrod, hasan secara sanad)
Juga dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ يَكُفُّ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ وَيَحُوطُهُ مِنْ وَرَائِهِ
“Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya. Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Dia tidak merusak harta miliknya dan menjaga kehormatannya (sesuai kemampuan).” (HR. Abu Daud no. 4918, hasan)
Dari Abu Musa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Sesungguhnya orang mukmin satu dan lainnya bagaikan suatu bangunan yang saling menguatkan satu dan lainnya” (HR. Bukhari no. 6026 dan Muslim no. 2585).
Dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum mukminin dalam kecintaan dan kasih sayang mereka adalah bagaikan satu jasad, apabila satu anggota tubuh sakit maka seluruh badan akan susah tidur dan terasa panas” (HR. Muslim no. 2586).
Saling Berlomba dalam Kebaikan …
Al Hasan Al Bashri berkata,
إذا رأيت الرجل ينافسك في الدنيا فنافسه في الآخرة
“Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam masalah akhirat.”
Wahib bin Al Warid mengatakan,
إن استطعت أن لا يسبقك إلى الله أحد فافعل
“Jika kamu mampu untuk mengungguli seseorang dalam perlombaan menggapai ridho Allah, lakukanlah.”
Sebagian salaf mengatakan,
لو أن رجلا سمع بأحد أطوع لله منه كان ينبغي له أن يحزنه ذلك
“Seandainya seseorang mendengar ada orang lain yang lebih taat pada Allah dari dirinya, sudah selayaknya dia sedih karena dia telah diungguli dalam perkara ketaatan.” (Latho-if Ma’arif, hal. 268)
Maksud perkataan para ulama salaf di atas sejalan dengan firman Allah,
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al Ma’idah: 48)
Ini nasehat untuk diri pribadi … Moga bermanfaat untuk yang lainnya. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Artikel Rumaysho.com lainnya yang menarik untuk dibaca:
—
Riyadh, KSA, 28 Rabi’ul Awwal 1434 H